Jumat, 31 Oktober 2008

Now U Know

it's u
i think
my rainbow

Kamis, 30 Oktober 2008

MCB Pemuda Se-Indonesia 1 : Sumpah Pemuda

"Sungguh Tidak ada daun yang jatuh, air yang menetes, dan debu yang terbang tanpa seizin Allah, maka begitulah dengan pertemuan kita semua"



Alhamdulillah, kmarin di Jakarta, ikut serangkaian acara mulai dari Training ESQ Mision Statement & Character Building (MCB) , yaitu Training Lanjutan ESQ selama 2 hari penuh, diskusi bersama Staf Kementerian Menpora & juga dari HIPMI, kemudian pelantikan Gema ESQ juga Peringatan Sumpah Pemuda bersama Menpora juga Alumni ESQ Se-indonesia di Graha Menara 165, bersama Tiwi & Anjar temenku.

Bersama-sama dengan temen-temen seluruh Nusantara, ... ah rasanya luarbiasa, bertemu, bersama-sama, tidur bersama, tertawa dan menangis bersama, Menari bersama, makan bersama, sholat bersama, tahajud bersama, ber-Takbir bersama, ber-Shalawat bersama, berdoa bersama, bercerita bersama, ....... Ya Rabb terimakasih Engkau jadikan kami saudara ...

Ada pesan dari Menpora Bp Adyaksa Dault yang diriku ingat "ESQ adalah gerakan kongkrit, Seringkali kita dibenturkan dengan nasionalis, dan seakan-akan nasionalis itu orang yang memakai baju merah putih, atau kemana-mana memekikkan merdeka kemudian selesai, Bung karno "The Founding father Nasionalis Indonesia" kita mengatakan Nasionalisme itu (Dalam bukunya Indonesia menggugat) adalah : Semangat Kebangsaan, Kehendak Kebangsaan dan Perbuatan Kebangsaan, itulah Nasionalis sejati .. tetapi hari ini orang hanya bermain dengan simbol-simbol dan dengan semangat .. tetapi dia rampok duit rakyat untuk kekayaan diri sendiri & keluarga, ... apakah itu nasionalisme?


... maka yang terpenting dari Nasionalisme itu adalah Ujung-nya) Nationalism Does ... Perbuatan Nasionalisme, .........maka kalau hanya berbuat untuk kepentingan dirinya saja, partai-nya saja dan merugikan orang lain, maka dia bukan Nasionalis sejati ........................................... jadi kita ESQ adalah Nasionalis Sejati, jangan membenturkan antara Islam dengan Naionalis, ... kita telah telah melakukan Perbuatan Nasionalisme yaitu memberikan pencerahan dan pendidikan kepada anak-anak bangsa Indonesia .... kepada Orang miskin, guru-guru ........ memberikan pencerahan Intelektual, Emosional dan Spiritual ... inilah Perbuatan Kebangsaan yang sesungguhnya .......





















Ya Rabb terimakasih ... hamba-Mu ini masih diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan ini, ..... Ya Rabb ... hanya diri-Mu tujuanku .... berikan kemudahan, bimbingan, petunjuk dan jalan yang engkau terangi dengan Cahaya-Mu, kepada hamba-Mu ini ... Amin.

















Terimakasih juga untuk P Ary Ginanjar, K Ridwan M, K Husni T, Jg Ksatria ESQ yg lain, ESQ LC Center, Ayah Bunda FKA Alumni ESQ, ESQ Korda Crb, telah memilih kami untuk mengikuti ini smua ..... and for Free all of this ....

Temen2 jangan lupa ya ...... http://mcbpemuda165satu.blogspot.com/ ..... tar InsyaAllah dibagusin deh blognya ....

Kamis, 23 Oktober 2008

Sejuk dan Menentramkan





Liat aja ya sendiri ...............


Pertama

Kedua

Selasa, 21 Oktober 2008

What's in a Name?: by William Shakespeare


“What’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Itulah kalimat yang sangat populer dari drama romantis-tragedi mahakarya William Shakespeare, “Romeo and Juliet”. Shakespeare ingin ngomong, bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain “mawar”, bau wanginya akan tetap sama.

Tapi, dalam bukunya Positioning: The Battle for Your Mind, Al Ries dan Jack Trout mengkritik pendapat Shakespeare ini. Kalau bunga mawar itu dikasih nama selain “mawar”, wanginya tidak akan terasa sama. Hal ini karena dalam benak kita sudah muncul persepsi yang kuat, seperti apa “mawar” itu; baik secara visual maupun dari baunya.

Jadi, buat marketers, brand itu sangat penting karena brand inilah yang sebenarnya dibeli orang. Seperti kata Walter Landor, pendiri konsultan brand terkemuka, Landor, “Produk dibuat di pabrik, namun brand diciptakan dalam benak (konsumen).”

Kata brand sendiri berasal dari bahasa Skandinavia Kuno, “brandr”, yang artinya “membakar”. Istilah ini mengacu kepada aktivitas para peternak yang mengecap hewan ternaknya dengan besi panas untuk membedakan antara hewan yang satu dengan yang lain.

Sampai saat ini, walaupun mungkin pemahaman dasarnya sama, namun memang tidak ada satu definisi yang tunggal tentang brand.

American Marketing Association (AMA) mendefinisikan brand sebagai “sebuah nama, istilah, tanda, simbol, desain atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang bertujuan untuk mengidentifikasi barang dan layanan dari suatu penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari para pesaing.”

Sementara, Profesor Douglas B. Holt dari Oxford University mengatakan bahwa brand merupakan budaya dari produk yang terbentuk sepanjang waktu. Jadi, menurut Holt, brand itu bersifat dinamis, seiring dengan interaksinya dengan berbagai pihak seperti konsumen dan pesaingnya.

Ada juga yang memberikan istilah lain untuk brand ini. Misalnya saja Kevin Roberts dari Saatchi & Saatchi, yang menciptakan istilah “lovemarks” untuk brand-brand yang memiliki unsur-unsur misteri, sensualitas, dan keakraban (intimacy).

Nah, bagi saya sendiri, brand adalah value indicator.

Brand bukan sekadar nama. Bukan juga sekadar logo atau simbol. Salah satu unsur brand memang adalah nama (brand name). Kedua istilah ini—brand dan brand name—sehari-harinya memang dianggap sama, namun sebenarnya berbeda. Brand punya makna yang lebih luas dan dalam daripada sekadar nama.

Brand adalah ‘payung’ yang merepresentasikan produk atau layanan, perusahaan, orang atau bahkan negara. Brand merupakan cerminan value yang kita berikan kepada pelanggan. Itulah sebabnya mengapa saya menyebutnya sebagai value indicator.

Value di sini artinya perbandingan antara hal-hal yang kita dapat dengan hal-hal yang kita berikan terhadap suatu brand. Hal-hal yang kita dapat berupa manfaat-manfaat fungsional dan emosional. Sementara, hal-hal yang kita berikan berupa harga yang harus kita bayar dan pengeluaran-pengeluaran lainnya.

Jadi, kalau suatu perusahaan atau produk sudah punya brand yang bagus, ia akan mampu menjadi price-maker, bukan sekadar price-taker. Brand adalah elemen paling penting dari price-driver. Brand-lah yang menentukan harga.

Brand ini juga merupakan jangkar dari segitiga Positioning-Diferensiasi-Brand (PDB). Kalau punya diferensiasi kuat tapi brand-nya tidak dikenal percuma saja.

Seperti sudah disingggung di atas, brand ini bukan hanya berkaitan dengan dunia komersial seperti product branding, service branding, atau corporate branding. Semua hal sebenarnya berkaitan dengan brand.

Ada yang namanya personal branding, yaitu branding terhadap seseorang atau sejumlah orang. Keluarga Kennedy misalnya, punya personal branding yang kuat sehingga disebut sebagai “the closest thing America has to royalty.”

Tidak jarang personal branding ini saling memperkuat dengan corporate branding. Contohnya Donald Trump, yang berhasil melakukan personal branding secara konsisten sehingga nama belakangnya (Trump) digunakan pada berbagai bangunan dan proyek yang ia kerjakan, dan sudah jadi jaminan mutu.

Ada juga yang namanya country branding, seperti Malaysia dengan “Truly Asia”-nya, Hong Kong sebagai “Asia’s World City”, Thailand dengan “Amazing Thailand”-nya, atau Selandia Baru dengan “100% pure”-nya.

Di Indonesia sendiri saya nilai yang akan paling ramai tahun depan adalah political branding. Menjelang Pemilu 2009, ke 38 partai nasional dan 6 partai lokal di Aceh beserta para politisi di dalamnya tentu akan berjuang keras agar brand-nya bisa jadi pilihan utama rakyat Indonesia.

Di era New Wave, branding di berbagai aspek akan semakin sulit karena pesaing sudah tidak terbatas. Sulit sekali membuat brand yang dikenal, diketahui, dan sekaligus diakui PDB-nya.

--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)



Senin, 20 Oktober 2008

Walau Habis Terang




Ku terbiasa tersenyum tenang
walau aaaah…
hatiku menangis

Kaulah cerita
tertulis dengan pasti
selamanya dalam pikiranku

Uuhh.. Selamanya...

Peluk tubuhku untuk sejenak
Dan biarkan kita memudar dengan pasti
Biarkan semua seperti seharusnya
Takkan pernah menjadi milikku

Lupakan semua
tinggalkan ini
Ku kan tenang
dan kau kan pergi

Berjalanlah walau habis terang
Ambil cahaya cinta kuterangi jalanmu

Di antara beribu lainnya
kau tetap..
kau tetap..
kau tetap..
benderang..
Aaa...


Vterpan
704211008

Minggu, 19 Oktober 2008

Agresi Militer belanda & Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan yg terlupakan

imageimageMenjelang peringatan dan masih beberapa hari kemudian, berbagai media cetak dan elektronik di Indonesia memuat berita dan tulisan mengenai peristiwa-peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Tidak satupun media, baik di Indonesia maupun di Belanda yang menulis mengenai penderitaan rakyat yang menjadi korban agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Ribuan penduduk dalam peristiwa "rawagede" dibantai yang sebelumnya ribuan penduduk di Sulawesi juga dibantai oleh tentara bayaran KNIL pimpinan Westerling. (red)

Kehadiran Menlu Belanda Ben Bot yang menyatakan menerima proklamasi 17 agustus 1945 secara politis dan moral serta menyatakan rasa penyesalan atas penderitaan bangsa Indonesia atas tindakan militer yang dilancarkan tentara Belanda setelah 17.8.1945, disalah-artikan oleh berbagai media di Indonesia sebagai pernyataan pengakuan atas proklamasi 17.8.1945, dan permintaan maaf. Mungkin para wartawan Indonesia kurang paham bahasa Inggris sehingga membuat kesimpulan yang keliru atas pernyataan Ben Bot tersebut. Media di Belanda jelas menulis, bahwa Ben Bot menyatakan “anvaarden” (menerima) dan bukan “erkenning” (pengakuan), dan Radio Nederland sendiri pada 17 agustus 2005 menyiarkan berita dengan judul: “Sedih. Tapi Tidak Minta Maaf.”

Harian Belanda Handelsblad mengutip pernyataan Ben Bot pada 15 Agustus 2005, yang mengatakan a.l.:
”Waar het nu in de eerste plaats om gaat, is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennia lang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met steun van het kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij zestig jaar na dato dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden”


Ben Bot jelas menyatakan RI de facto mulai 17.8.1945, dan …MENERIMA SECARA POLITIS DAN MORAL. Jadi tetap tidak mengakui de jure.. Di Indonesia, atas pertanyaan wartawan, dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya diberikan satu kali, yaitu tahun 1949.

Pada 13 Agustus 2005, harian Belanda de Telegraaf menulis, Menlu RI Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan permintaan maaf dari Belanda, dan setelah pernyataan Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak menuntut kompensasi dari Belanda. Memang sebagai Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda berbicara atas nama bangsa Indonesia, namun benarkah pernyataannya, bahwa seluruh rakyat Indonesia tidak menuntut kompensasi atas kerugian dan penderitaan rakyat selama masa agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1949. Belum lagi menuntut pengembalian warisan budaya dan pengurasan kekayaan Nusantara yang telah diboyong ke Belanda selama ratusan tahun sejak tahun 1602-1942?

Ben Bot menyatakan, bahwa selama puluhan tahun belakangan, Belanda telah banyak “membantu” (maksudnya adalah pinjaman dalam bentuk utang yang harus dibayar kembali berikut bunganya - penulis) Indonesia di bidang pembangunan.

Tahukah seluruh rakyat Indonesia bahwa sebagai hasil keputusan Konferensi meja Bundar tahun 1949, Republik Indonesia Serikat (RIS) –yang dipandang sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indies)- diharuskan membayar utang Pemerintah India Belanda sebesar 4 ½ milyar Gulden, dan oleh Pemerintah RIS, kemudian setelah RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dilanjutkan oleh Pemerintah RI telah dibayar sebesar 4 milyar Gulden, sebelum dihentikan pembayarannya tahun 1956 oleh Pemerintah RI?

Tahun 1995 diterbitkan buku dengan judul De Excessennota sebagai hasil penyelidikan yang dilakukan berdasarkan keputusan Parlemen Belanda atas berbagai penyimpangan dan kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Buku itu memuat cukup rinci mengenai puluhan kasus pelanggaran yang dilakukan oleh tentara Belanda. Beberapa kalangan di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang disebut secara lunak sebaga “Excess”, tidak lain adalah “war crimes” atau kejahatan perang. Namun sangat disayangkan, bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak merespons temuan ini hingga sekarang, dan bahkan Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda.

Di bawah ini saya sampaikan tulisan mengenai pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Letnan (waktu itu) R.P.P. Westerling di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 – Februari 1947.

Selain pembantaian massal yang menelan korban jiwa ribuan rakyat tidak berdosa di Sulawesi Selatan, pembantaian besar kedua terjadi di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana sekitar 500 penduduk desa tewas dibantai oleh tentara Belanda, yang mencari Lukas Kustario, seorang pejuang Republik Indonesia, sebagaimana juga diberitakan media Belanda RTL 5, yang dikirim oleh Jeffry Pondaag dari Belanda:
Citaat uit RTL 5 documentaire Rawagede.
“De Excessen van Rawagede 1947-1950”
Tijdens de Indonesische onafhankelijkheid strijd werden in het dorp Rawagede West-Java honderden burgers, onder verantwoordelijkheid van het Nederlandse Militaire gezag doelbewust vermoord. De Nederlandse Militaire Autoriteiten wilden inlichtingen verkrijgen over de Indonesische vrijheidstrijder Lukas Kustario die regelmatig in Rawagede verblijft. Bij de zoektocht naar Kustario werd het overgrote deel de mannelijke bevolking geëxecuteerd. De eerste militaire actie in Rawagedéh waarbij in totaal 431 dodelijke slachtoffers vielen. Werd in januari 1948 onderzocht door een speciale commissie van de VN.

De VN Commissie, bekritiseerde de handelwijze van het Nederlandse militaire gezag. Ondanks deze conclusie is de voor de excessen verantwoordelijke Nederlandse Officier niet vervolgd. Na overleg tussen de Nederlandse militaire en Justitie Autoriteiten werd de zaak Rawagede Geseponeerd.

Een Produktie van Willy Lindwer.
AVA Productions 1995.


Apabila seluruh rakyat Indonesia mengetahui dengan jelas mengenai hal-hal tersebut di atas dan lebih meneliti lagi berbagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945, sangat diragukan, bahwa seluruh rakyat Indonesia benar sependapat dengan pernyataan Menlu Hassan Wirajuda.

Perlu kiranya ditanyakan kepada korban penyiksaan dan perempuan korban perkosaan tentara Belanda, keluarga dan anak-cucu korban pembantaian tentara Belanda, apakah mereka mendukung pernyataan Menlu Hassan Wirajuda, bahwa mereka benar tidak memerlukan permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda? Ataukah hanya karena mereka tidak mendapat informasi, bahwa mereka masih dapat menuntut hak mereka di pengadilan internasional? (Apabila para pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat di Indonesia tidak mau memperjuangkan hak dan nasib mereka!).

Batara R. Hutagalung

Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan
imagePembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Latar belakang
Sementara Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, tetap terjadi perlawanan sengit dari rakyat setempat. Walaupun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.

Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.

Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku pedoman resmi untuk Counter Insurgency.

Operasi militer

Tahap pertama
imageAksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

imageFase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.

Demikianlah "sweeping a la Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.

Tahap kedua
imageSetelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar berenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Tahap ketiga
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Pemberlakuaan keadaan darurat
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello, Abokangeng, Padakalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talanbangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette, pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.

Peristiwa Galung Lombok
Peristiwa maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Yusuf Pabicara Baru (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

Pasca operasi militer
imageJenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda baik militer mau pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.

Korban
Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh ijin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.



















Para Penduduk lokal yang sedang menunggu di Eksekusi oleh Para KNIL


Sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling
- http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Westerling


Pembantaian Rawagede : Syaih: Tentara Belanda Datang Langsung Mengamuk



Jakarta
- Ketiga orangtua tersebut sudah sangat renta. Untuk berjalan saja, mereka harus dipapah. Namun mereka tetap bersemangat untuk bertemu dengan Parlemen Belanda.

"Saya sudah tidak dendam lagi," kata Syaih kepada detikcom di Hotel JW Marriot, Jakarta, Minggu (19/10/2008).

Syaih adalah salah satu korban yang masih hidup dari kebiadaban penyerangan militer Belanda terhadap warga Rawagede, Kerawang, Bekasi pada 9 Desember 1947 yang lalu. Dia datang bersama dengan Wisah, Wanti dan Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman.

Di hotel mewah itu mereka bertemu dengan anggota parlemen Belanda yang diwakili oleh Harry van Bommel dari Partai Sosialis, Harm Evert Waalkens asal Partai Buruh dan JS Vourdewind dari Partai Uni Kristen.

Sukarman menceritakan, kejadian itu berlangsung pada malam hari, hari Selasa sekitar jam 24.00 WIB. Daerah Rawagede memang dijadikan markas pejuang Indonesia. Salah seorang pejuang yang paling dicari Belanda saat itu, Kapten Lukas Kustario, tanggal 8 Desember kebetulan datang ke daerah mereka.

"Rupanya kedatangan Lukas didengar oleh Belanda," jelas Sukarman yang saat kejadian kehilangan Ayahnya.

Akibatnya, malam itu menjadi ajang pembantaian warga Rawagede. Sebanyak 431 orang tewas akibat pembantaian itu. "Tapi yang dimakamkan hanya 181 mayat, sisanya hanya tulang-tulang doang," jelasnya.

Menurut Sukarman, pasukan belanda saat itu sangat sadis. Mereka menanyakan keberadaan Lukas. Tapi tidak satupun warga yang memberitahu. "Mereka langsung nyerbu gitu aja," ujar Sukarman.

Mendengar suara ribut-ribut, Syaih mengaku segera bersembunyi di sungai. Saat itu dia sangat ketakutan karena pasukan Belanda masuk ke seluruh daerah sambil membawa anjing pelacak.

Meski akhirnya tertangkap, Syaih nasibnya masih lebih beruntung dibanding yang laen. Pria kelahiran tahun 1922 ini hanya tertembak punggun serta lengan kirinya.

Syaih saat itu sudah dianggap tewas oleh pasukan Belanda. Badan Syaih dilempar ketumpukkan mayat yang lain sebelum ditembaki kembali oleh Belanda.

(mok/djo/detik.com)


Komentar terkini (3 Komentar)

akoe1, Saya waktu kemah pramuka smp pernah mengunjungi monumennya di Rawa Gede. Melihat monumennya aja membuat bulukuduk merinding ngeri. Betapa sadis dan jahatnya pembantaian waktu itu... Sudah seharusnya Pemerintah Belanda mengakui kesalahan/kejahatan/kesadisann ya dan juga meminta maaf kepada Bangsa Indonesia khususnya masyarakat yang terkait langsung atas tindakannya, walaupun tetap saja nyawa kerugian para korban lainnya tetap tak dapat tergantikan dgn cara apapun... Oya, setahu saya Rawagede itu bukan terletak di perbatasan Karawang-Bekasi, tetapi benar2 di Kabupaten Karawang tepatnya di Kecamatan Rawamerta. Mungkin di masa itu ada juga pembantaian rakyat di sekitar Karawang-Bekasi (hingga di abadikan oleh Chairil Anwar), tetapi untuk Rawagede itu memang letaknya di tengah Karawang kok.. Demikian, trims.

jamin, Ini sih Sadis bin sadis banget, semua sejarah pembantaian penjajah ini harus dibuka, bukan untuk membuka luka lama, tapi untuk mengingatkan kepada Dunia bahwa mereka2 yang lantang meneriakan hak azasi itu haruslah membereskan dulu hutang2nya sebelum intervensi dan mengajari hak asasi manusia kepada negara lain, masa pelanggar hak asasi mengajari hak asasi kepada orang lain. APA KATA DUNIA?

bdman, Dasar orang EROPA, ga Belanda, Jerman, Inggris atau Perancis semuanya adalah pelanggar HAM berat pada jamannya, sudahlah buka sajah semua sejarah MERAH bangsa EROPA biar kita melihat dan berpikir siapa mereka sebenarnya. Mereka bangsa yang biadab dari dulu...sejarah membuktikan kebiadaban mereka dan mereka skr "cuci-tangan". Memang tidak ada gunanya balas dendam, tapi kita masi bisa BOIKOT produk mereka dan tidak bekerja untuk perusahaan asing.


KARAWANG BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi



ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949) pada tahun 1948

Sabtu, 18 Oktober 2008

Sebuah Lagu





Detik-detik berlalu
Dalam Hidup ini

Perlahan Tapi Pasti
Menuju Mati

Kerap Datang Rasa Takut
Menyusup Dihati

Takut Hidup ini Terisi
Oleh Sia-sia

Pada Hening dan Sepi
Aku Bertanya

Dengan Apa Ku Isi
Detikku Ini

Rabb Kemana Kami
Setelah Ini

Senin, 13 Oktober 2008

where ar u




CEO Worldwide Saatchi & Saatchi, Kevin Roberts, said "If you want to understand how a lion hunts, don’t go to the zoo. Go to the jungle" ......

"Okay, ..... ill find you soon, ... later!"


Minggu, 12 Oktober 2008

When Giants Learns to Dance: The IBM Story




Transformation of an enterprise begins with a sense of crisis or urgency”. Itulah yang dikatakan Lou Gerstner, orang yang berhasil melakukan corporate turnaround pada IBM ketika raksasa komputer ini sedang mengalami krisis.

Memang, ketika Gerstner diangkat sebagai CEO dan Chairman IBM pada April 1992, perusahaan ini sedang di ambang kehancuran. Pada Januari 1993, IBM mengumumkan kerugian sebesar 5 milyar dollar AS selama tahun 1992! Itulah kerugian terbesar dalam satu tahun yang pernah dialami oleh sebuah perusahaan sepanjang sejarah Amerika. Masalah yang menimpa IBM ini menjadi perhatian banyak kalangan. Betapa tidak, IBM sudah menjadi salah satu ikon bisnis Amerika dan dunia.

Sejarah panjang IBM dimulai saat perusahaan ini didirikan pada tahun 1896 di New York. IBM mulai tumbuh dengan pesat sejak tahun 1935 ketika mendapat kontrak dari pemerintah untuk mengelola data pekerjaan 26 juta orang. Pada tahun 1950-an, IBM mendapat kontrak yang cukup besar dari Angkatan Udara Amerika (USAF)

Maka, lanskap bisnis yang ada saat itu cukup menguntungkan bagi IBM. Selama masa-masa awal ini praktis IBM tidak punya pesaing. IBM juga sudah punya pelanggan captive pada sektor pemerintahan.

Kisah sukses IBM ini berlanjut sampai tahun 1960-an. Saat itu terdapat delapan perusahaan yang menguasai industri komputer. IBM merupakan perusahaan terbesar; pada tahun 1964 perusahaan ini memproduksi sekitar 70% dari seluruh komputer yang ada.

Tujuh perusahaan lainnya adalah UNIVAC, Burroughs, NCR, Control Data Corporation, General Electric, RCA, dan Honeywell. Karena ukuran IBM yang jauh lebih besar dibanding tujuh perusahaan lainnya, maka muncul istilah ”IBM and the Seven Dwarfs” pada industri komputer saat itu.

Pada dasawarsa 1960-an inilah IBM mulai mengukuhkan posisinya sebagai produsen mainframe computer terkemuka dengan produknya IBM System/360.

Sampai era 1980-an, IBM memproduksi sendiri hampir semua komponen mainframe computer-nya, mulai dari prosesor, sistem operasi, peripherals, dan sebagainya. Strategi integrasi-vertikal ini berakhir ketika IBM mulai mengalihkan pembuatan dua komponen penting ke perusahaan lain, yaitu sistem operasi ke Microsoft dan microprocessor ke Intel. Alasannya adalah untuk mempercepat waktu pembuatan personal computer (PC) yang pasarnya waktu itu mulai tumbuh.

Pada akhir 1980-an ini mulai terlihat bahwa pertarungan di industri komputer saat itu adalah antara model bisnis integrasi-vertikal seperti IBM, lawan model tersegmentasi seperti Intel (microprocessor), Microsoft (software), HP (printer) atau Seagate (disk drives).

Melihat hal ini, CEO IBM saat itu, John Akers, mulai memecah IBM menjadi unit-unit bisnis yang otonom. Tujuannya untuk bersaing secara lebih efektif dengan para pesaing tadi yang lebih fokus dan punya struktur biaya yang lebih murah.

IBM mulai limbung ketika pasar komputer mulai didominasi oleh PC, bukan lagi mainframe. Para pesaing IBM seperti Compaq dan Dell yang lebih siap semakin kuat posisinya. Pertumbuhan yang ada di bisnis PC IBM sendiri tidak mampu menutupi penurunan revenue yang terjadi pada bisnis mainframe-nya. Karena itulah, pada akhirnya IBM mengalami kerugian yang sangat besar pada tahun 1992 seperti sudah disebutkan di atas.

Gerstner bertindak cepat agar IBM tidak kolaps. Berbeda dengan John Akers, Gerstner mengintegrasikan kembali divisi-divisi utama IBM untuk lebih fokus kepada servis ketimbang produk. Bisnis IBM mulai beralih dari bisnis komponen dan hardware ke bisnis software dan servis.Langkah Gerstner ini kemudian diteruskan oleh Sam Palmisano, CEO IBM berikutnya.

Pada tahun 2002 IBM memperkuat bisnis servisnya dengan mengakuisisi divisi konsultansi dari PricewaterhouseCoopers. Pada tahun 2004 IBM juga menjual divisi PC-nya yang rugi terus ke Lenovo Group. Berikutnya, pada tahun 2007 IBM menjual divisi printing-nya ke Ricoh. Semua ini menunjukkan bahwa IBM memang benar-benar ingin fokus ke bidang servis, software, dan konsultasi, bukan lagi ke hardware.

Bisa kita lihat, perubahan lanskap bisnis yang tidak menentu bisa membuat perusahaan sekelas IBM hampir tumbang. Perkembangan teknologi yang pesat pada akhir 1980-an membuat para pesaing IBM bisa membuat PC dengan harga lebih murah sehingga bisa menjadi produk massal. Namun, IBM tidak siap dan masih mengandalkan mainframe computer yang harganya mahal dan berukuran besar.

Inilah perbedaan antara IBM dan GE yang saya ceritakan kemarin. Keduanya sama-sama perusahaan raksasa. Namun GE mampu melakukan “creative destruction” sebelum terlambat, sedangkan IBM sudah terlanjur rugi besar.

Memang, kesuksesan masa lalu tidak menjamin kesuksesan di masa depan. Hanya orang-orang yang mau berubahlah yang akan bertahan dan sukses di lanskap New Wave yang berubah sangat cepat ini.



--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)


The Matrix: Always Connected, or Die!




KALAU bicara soal dunia Internet, mustahil untuk melewatkan trilogi film The Matrix. Inilah film yang membedah masalah teknis dan filosofi dalam dunia cyber. Film garapan dua bersaudara Larry dan Andy Wachowski ini sudah menjadi cult film bagi para geeks seperti para hacker dan cyberpunk.

Film fiksi-ilmiah ini ceritanya memang agak-agak rumit; secara garis besar berpusat tokoh jagoan utamanya, Neo alias “The One”, yang diperankan oleh Keanu Reeves. Ia mati-matian melawan para musuhnya, baik itu berupa mesin, manusia, dan terutama “manusia” virtual. Untuk menghadapi para musuh ini, Neo harus keluar-masuk dunia nyata dan dunia virtual.

Memang, dunia nyata dan dunia virtual dalam film ini keduanya digambarkan berdampingan secara paralel. Jika ingin masuk ke dunia virtual, Neo dan rekan-rekannya harus dipasangi sebuah mesin yang disambungkan ke otak mereka. Sementara jika mereka sedang di dunia virtual dan ingin kembali ke dunia nyata, mereka harus mengangkat panggilan telepon yang berasal dari rekan mereka di dunia nyata.

Ketika para tokoh ini ada di dunia virtual, tubuh fisiknya tetap ada di dunia nyata (yang tersambung ke mesin tadi), namun “roh”-nya ada di dunia virtual. Walaupun dunianya sudah terpisah, antara tubuh fisik dan “roh” ini sebenarnya masih menyatu. Jika “roh”-nya yang sedang bertarung melawan para musuh di dunia virtual terluka atau mati, tubuh fisiknya juga bisa terluka dan mati. Sebaliknya, jika tubuh fisiknya terputus sambungannya dengan mesin, “roh”-nya bisa mati.

Nah, The Matrix ini bisa memberikan inspirasi bahwa di era New Wave Marketing ini koneksi (connection) antara dunia virtual (online) dan dunia nyata (offline) harus selalu tersambung tanpa jeda dan putus, always-on connection. Koneksi ini juga harus berupa mobile connection, bukan lagi fixed connection. Karena itu pula dibutuhkan mobile connector agar kita bisa semakin mudah mengakses perubahan-perubahan yang terjadi di lanskap bisnis.

Mobile connector ini bentuknya bisa berupa telepon seluler, laptop, smartphone ataupun perangkat lainnya yang bisa membuat orang melakukan koneksi online secara wireless, misalnya saja perangkat Kindle dari Amazon.com.

Saat ini memang semakin banyak orang yang menjadi road warrior. Lokasi kerja tidak lagi terbatas di kantor, tapi bisa di rumah, di kafe-kafe, di tempat klien, atau bahkan ketika sedang di jalan mengendarai mobil.

Hal ini juga didorong oleh kemajuan teknologi yang membuat perangkat mobile connector semakin nyaman digunakan. Laptop semakin lama beratnya semakin ringan dan daya hidup baterainya juga semakin lama. Smartphone juga semakin mudah digunakan dan fitur-fiturnya semakin mendukung akses Internet. Pendeknya, dari sisi penawaran dan permintaan terhadap mobile connector ini sudah saling mendukung.

Berdasarkan offering-nya, mobile connector ini bisa dibagi menjadi tiga tipe, yaitu Ad-based, Content-based, dan Reward-based. Ad-based adalah berbagai bentuk iklan yang ditawarkan melalui mobile connector kita. Bentuknya bisa berupa teks seperti SMS, gambar, foto, atau bisa juga berupa video.

Namun, mengutip istilah Seth Godin, tentu saja sudah harus berupa permission marketing, bukan lagi interruption marketing. Iklan-iklan yang masuk ke telepon seluler atau ke laptop saat sedang online sedapat mungkin tidak mengganggu dan malah menguntungkan si pemakai.

Hal ini sudah dipraktikkan Virgin Mobile di Amerika tahun 2007 lalu. Operator seluler ini menawarkan pengguna untuk memilih antara menerima iklan SMS atau melihat iklan video 45 detik ketika browsing Internet di ponsel mereka. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan talk-time gratis selama 1 menit. Dan bagi mereka yang mau mengisi kuesioner online akan mendapatkan tambahan talk-time gratis selama 5 menit.

Content-based merupakan layanan yang menawarkan konten kepada si pemakai. Misalnya saja yang paling populer adalah ring back tone. Atau kalau di iPhone adalah aplikasi-aplikasi seperti iLightr yang bisa menampilkan nyala api seperti dari korek api untuk dilambai-lambaikan saat konser musik atau Koi Pond yang menampilkan ikan koi yang sedang berenang di kolam.

Sementara reward-based adalah layanan-layanan yang memberikan reward, bukan hanya kepada pelanggan namun juga kepada merchant dalam bentuk diskon atau akumulasi poin. Program MORE (mobile rewards exchange) dari inTouch-nya Pak Kendro Hendra merupakan contoh yang paling nyata dari reward-based ini.

Memang, mobile connector ini telah menjadi salah satu elemen penting dalam lanskap New Wave. Mobile connector sebagai bagian dari Connector membuat perusahaan (Company) semakin mampu mengakses ketiga elemen lainnya: Change, Competitor, dan Customer.

--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Dari Opa Hermawan Kartajaya

"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)


Artikel yg Ruaaaaaaaaarrrr Biasa ....... , Jadi kebayang begitu bangun tidur, gak bisa bedain mana dunia nyata mana dunia maya ... hiks, serasa jadi Neo .....

The Groundswell Connection: Becoming a Civilised Catalyst



ADA sebuah buku bagus dan relatif baru yang membahas relasi antara konsumen dan perkembangan Internet. Judulnya Groundswell. Buku ini ditulis oleh dua analis dari Forrester Research, Charlene Li dan Josh Bernoff.

Groundswell didefinisikan oleh kedua penulis sebagai tren sosial di mana untuk mendapatkan kebutuhannya, orang lebih memilih mencarinya dari orang lain ketimbang dari produsen atau toko. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi Internet. Contohnya saja situs eBay. Di sini orang membeli barang dari orang lain, bukan dari toko. Contoh lainnya adalah Linux. Sistem operasi ini diciptakan secara gotong-royong oleh individu-individu, bukan oleh perusahaan besar seperti Microsoft.

Buku ini memang mengupas panjang lebar fenomena groundswell. Salah satu bagian yang paling menarik adalah segmentasi pelanggan berdasarkan tingkat aktivitasnya dalam groundswell. Dalam buku ini, segmentasi tersebut disebut sebagai Profil Social Technographics. Ada 6 profil, yaitu Creators, Critics, Collectors, Joiners, Spectators, dan Inactives. Profil-profil ini sendiri digambarkan sebagai tangga. Creators adalah anak tangga paling atas karena merupakan segmen yang paling tinggi tingkat aktivitasnya, sementara Inactives berada paling bawah karena merupakan segmen yang paling rendah tingkat aktivitasnya.

Secara ringkas, keenam profil Social Technographics tersebut sebagai berikut. Creators adalah orang-orang yang paling-tidak sebulan sekali menulis di blog-nya atau meng-upload video di YouTube. Critics adalah orang-orang yang memberikan komentar pada blog atau memberikan penilaian secara online terhadap suatu produk. Collectors adalah orang-orang yang menyimpan berbagai informasi online pada satu situs, misalnya menyimpan alamat-alamat situs favorit di situs Delicious.

Sementara Joiners adalah orang-orang yang punya profil di situs social networking seperti Facebook untuk sekadar menjalin relasi. Spectators adalah orang-orang yang sekadar membaca blog atau menonton video orang lain. Dan yang terakhir, Inactives, adalah orang-orang yang tidak melakukan aktivitas apa-apa walaupun ia sedang online.

Sekarang, seperti sudah saya tulis sebelumnya, untuk menjadi New Wave Marketers berarti harus selalu melakukan Always-On Connection. Kalau sekadar terkoneksi namun sifatnya Offline Connection , jangkauannya akan terbatas. Sementara koneksi yang bersifat Offline & Online Connection lebih baik, namun tidak bisa terlalu mendeteksi perubahan lanskap yang berlangsung sangat cepat. Yang terbaik adalah Always-On Connection. Ini berarti pemasar (baca: Company) selalu punya akses dan selalu bisa memantau perkembangan terbaru dari 3C lainnya dalam lanskap bisnis, yaitu Change Agents, Customers, dan Competitors, dengan perantaraan Connector.

Nah, kembali ke profil Social Technographics tadi. New Wave Marketers tidak cukup sekadar terkoneksi (Connected) dengan menjadi Joiners atau malah Spectators saja. Ia harus berupaya untuk semakin naik menuju ke anak tangga teratas, yaitu Creators. Ini berarti New Wave Marketers harus aktif mengambil inisiatif untuk menjadi apa yang saya sebut sebagai Catalyst.

Catalyst ini layaknya katalisator dalam reaksi kimia untuk mempercepat proses. Artinya, sebuah merek—baik itu merek produk ataupun merek korporat—yang melakukan corporate blogging harus mau menjadi katalis pada perbincangan yang ada di lanskap New Wave. Dengan demikian, merek tersebut berada pada satu tingkat yang sama dengan 3C lainnya tadi dalam perbincangan yang terjadi.

Dan jangan lupa, lakukan semua itu dengan Civilised alias beradab. Walaupun di Internet orang bisa melakukan apapun, termasuk memakai nama samaran, melakukan fitnah, atau melontarkan komentar yang tidak etis, tapi pada akhirnya hanya mereka yang beradab sajalah yang akan tetap terjaga reputasinya dan terus dipercaya orang.

Inilah perkembangan pemasar dalam era New Wave Marketing. Untuk sekadar bertahan hidup (survive), pemasar cukup sekadar terkoneksi (connected). Ini berarti ia harus punya pengetahuan dan ketrampilan teknis alias IQ yang baik. Sementara untuk bisa merasakan (sensing) perubahan pada lanskap bisnis, pemasar harus jadi katalis (catalyst). Berarti ia harus bisa memahami lingkungan sekitarnya alias harus punya EQ yang baik. Dan yang terakhir, agar bisa terus berkembang dalam jangka waktu yang panjang (sustainable), pemasar harus beradab (civilised). Pemasar seperti ini punya nilai-nilai moral yang tinggi alias SQ yang baik.

Maka, di era New Wave Marketing ini, jadilah pemasar yang bukan hanya bisa menjalin relasi dengan orang lain, namun juga bisa mendeteksi perubahan yang terjadi dan tetap mampu melakukan segala aktivitas dengan cara-cara yang beradab.

--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Dari Opa Hermawan Kartajaya

"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)


Sabtu, 11 Oktober 2008

Lebaran Kemarin : one piece




Gak ada 2 minggu libur Lebaran dirumah, but ... Lebaran tetap spesial, .......... ,Spesial karena bisa kumpul seluruh keluarga, .... ya yg gak tinggal lagi ma ortu pasti ngerasa .. bahwa ternyata berkumpul bersama keluarga adalah satu karunia yang membahagiakan ...

Juga ketemu dengan saudara-saudara dari keluarga Ayah dan Ibu, melihat adanya perubahan, ... ah kadang panggung kehidupan ini terasa begitu nyata ...

Bersilaturahmi dengan tetangga, ... ketemu dengan teman lama .... mh ... aku melihat cermin dimana-mana, ....

Cerita-cerita yang terjadi, .... jauh lebih hebat dari novel yang aku baca .... ,

mh ... kehidupan selalu menemukan cerita-nya masing-masing, sehingga ketika merenungkan kembali mengapa semua-nya terjadi, ... seperti ada hijab yang terbuka, ... meski kadang samar, .... kerajaan-Nya sungguh membuatku selalu merasa .. begitu banyak hal salah yang aku lakukan .... Ya Rabb Ya Ghofar ... ampuni hamba-Mu ini ..