Rabu, 01 Juni 2011

Tentang TDA


Tentang Komunitas Tangan Di Atas (TDA)


Apa Itu Komunitas TDA?

Adalah sebuah komunitas bisnis yang bervisi menjadi Tangan Di Atas atau menjadi pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya. Istilah kerennya adalah abundance atau enlightened millionaire.

Lho, sesederhana itu?

Tidak, nama ini merupakan perwujudan dari keyakinan kami bahwa menjadi Tangan Di Atas itu lebih mulia dari pada Tangan Di Bawah (TDB). Kami mengartikannya juga TDA sebagai pengusaha dan TDB sebagai karyawan. Di samping itu kami juga meyakini bahwa dengan menumbuhkan semangat berwirausaha, merupakan salah satu solusi konkret terhadap permasalahan ekonomi bangsa.

Bagaimana cara mewujudkannya?

Ya, tentu saja dimulai dari kami sendiri. Dengan semangat saling berbagi, saling mendukung dan bekerja sama dalam komunitas TDA. Semua itu telah diwujudkan dalam beberapa kegiatannya.

Kenapa harus dengan komunitas?

Kami yakin dengan bersama-sama segalanya akan lebih ringan. Keyakinan itu terbukti dengan kebersamaan ini kami bisa melakukan hal yang tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri.

Ada ciri khas lain yang membedakan TDA?

Ada, yaitu action oriented. Makanya seiring diplesetkan menjadi Take Double Action. TDA menghindari banyak melakukan diskusi dan perdebatan yang tidak produktif.

Apakah TDA lembaga sosial?

Dalam aktivitasnya, TDA adalah komunitas sosial, non profit. Tapi tujuannya adalah pragmatis yaitu agar para membernya menjadi 100% TDA alias pengusaha kaya.

Siapa saja member TDA ini?

Beragam. Tapi kalau di bagi ada 3 kategori, yaitu:

1. TDA, yaitu member yang sudah full berbisnis dan dalam upaya meningkatkan bisnisnya ke jenjang lebih tinggi.
2. TDB, yaitu member yang masih bekerja sebagai karyawan dan sedang berupaya untuk pindah kuadran menjadi TDA
3. Ampibi, yaitu member yang masih dalam tahap peralihan dari TDB ke TDA dengan melakukan bisnis secara sambilan

Sudah berapa member TDA?

Sampai saat ini (September 2007) sudah mencapai 1.300 orang sejak didirikan tanggal 22 Januari 2006.

Apa saja kegiatan TDA?

TDA Garment (12 kios di ITC Mangga Dua dan 4 di Metro Tanah Abang)
TDA Seluler (9 konter ITC Mangga Dua)
TDA IT (+- 20 kios Mangga Dua Square, workshop, seminar IT)
TDA Goes To Franchise (kajian dan laboratorium konsep bisnis)
TDA Peduli (kerja sama dengan Aksi Cepat Tanggap Dompet Dhuafa Republika)
TDA Wealth Strategy Club (diskusi dan penerapan wealth strategy)
TDA Event Organizer (seminar, talkshow, bazaar, pameran, tour)
TDA Business Re-education (seminar, business game, business coaching, bekerja sama dengan Action International Business Coaching http://www.action-international.com/, http://www.actioncoaching.com/)
TDA Business Conference on Yahoo! Messenger
TDA Business Portal (on progress)
TDA Daerah (Bekasi, Tangerang, Depok, Surabaya, Yogyakarta, Batam)
TDA Spiritual (pengajian bulanan)
TDA Finance
TDA Business Book Club
dll

Bagaimana awal berdirinya TDA?

Agak panjang dan unik ceritanya. Ini berawal dari sebuah blog yang ditulis oleh salah satu pendiri TDA, yaitu Badroni Yuzirman (http://www.roniyuzirman.blogspot.com/). Isi blog tersebut menurut sebagian orang cenderung memprovokasi pembacanya untuk menjadi pengusaha atau TDA. Kemudian, dari para pembaca blog tersebut tercetus ide untuk membuat pertemuan dalam bentuk talkshow dengan menghadirkan Haji Ali, salah satu tokoh sukses yang sering diceritakan di blog tersebut. Tanggal 12 Januari 2006 adalah tanggal diadakannya talkshow tersebut yang dihadiri oleh sekitar 40 orang bertempat di Restoran Sederhana Rawamangun, Jakarta Timur.

Dari talkshow itulah diperkenalkan istilah Tangan Di Atas yang diperluas tafsirnya menjadi pengusaha atau pedagang. Para peserta kemudian ditantang untuk langsung take action memulai bisnis. Pada tanggal 1 Februari, seminggu setelah itu dibukalah Moslem Fashion Area dengan para pengisi kiosnya 12 orang dari peserta talkshow itu.

Untuk memperlancar komunikasi di antara para alumni talkshow, maka dibuatlah sebuah mailing list untuk saling berkoordinasi mengenai toko masing-masing dan membahas permasalahan bisnis. Pada akhirnya mailing list itu kemudian dibuka untuk umum dengan anggota mencapai ratusan orang.

Oleh : Badroni Yuzirman

Website TDA

Selasa, 11 Mei 2010

6 Free Websites for Learning and Teaching Science

Science Beakers ImageFrom robotics to space research, from physics to computer science, the Internet is a vast trove of information about the sciences. Resources such as Wikipedia (and its easy-on-younger-minds counterpart, Simple English Wikipedia) and online video make the process of learning about and teaching science subjects much easier than ever before.

Rather than resorting to yet another 600-page textbook, next time you’re hard up for understanding or inspiration, check out one of these six websites that offer information on the sciences. And particularly if you’re a scientist or educator yourself, let us know in the comments where you hang out online to learn about and discuss your favorite science topics.


1. Scitable


If genetics and evolution are of interest to you, Scitable is a must-see resource. This free (paid for by sponsorships from brands) science library acts as a classroom resource as well as a personal learning tool. The site comes from Nature Publishing Group, a reputable publisher of science-related materials. Users can pursue topics in learning paths or build online classrooms of their own. The site has an “ask the expert” feature that is staffed by four internal PhDs who help students answer series of questions with a turnaround time of less than 48 hours. Most importantly, the articles and information on this site are peer-reviewed for journal-level quality.

Cool Fact: “Genetic drift describes random fluctuations in allele frequencies in populations, which can eventually cause a population of organisms to be genetically distinct from its original population and result in the formation of a new species.”

Must-See Page: Student Voices, a blog about science by students, for students.


2. iTunes U


More than 600 universities — including Stanford, Yale and MIT — distribute lectures, slideshows, PDFs, films, exhibit tours and audiobooks through the iTunes Store. The U also includes content from public broadcasting outlets and public libraries. For educators, iTunes U can be useful for the distribution of syllabi, notes, schedules and other important documents. The Science section contains multimedia content on topics including agriculture, astronomy, biology, chemistry, physics, ecology and geography. Beware: iTunes U just might be the most education time sink since Wikipedia ().

Cool Fact: “This immense machine will recreate, on a tiny scale, conditions that existed just after the Big Bang. It is hoped that the Large Hadron Collider will provide a glimpse of the theoretical Higgs boson and explain the origin of mass.”

Must-See Page: A series of lectures on entomology, the study of insects, from Texas A&M.


3. Space.com


If the firmament is your thing, look no further than Space.com. This site is a massive repository of information on the heavenly bodies, including space flight missions and space-related technologies. Multimedia features let users watch videos of solar eruptions or view galleries of photographs of Saturn’s rings. A team of space news veterans also present the weekly video series, “This Week in Space.”

Cool Fact: “Future satellites could deploy solar sails to help take down pieces of space junk floating around Earth and a tiny new spacecraft hopes to make it possible.”

Must-See Page: For the stargazers, a calendar of celestial events that will take place in 2010.


4. Scientific American


With subtopics in the categories of basic science, space, medicine, energy, evolution and more, Scientific American’s website is one of the most thorough resources available online for learning and teaching science. The site also hosts a bevy of blogs and 60-second podcasts — perfect supplements to the well-rounded roster of news articles and in-depth features offered. And of course, an important aspect of the site is its link to and content from Scientific American magazine.

Cool Fact: “Feathers developed differently in dinosaurs’ life cycles than in those of modern birds. A rare fossil find of two young feathered theropods has revealed that these animals sprouted a much wider range of plumage as they matured than contemporary birds do.”

Must-See Page: Expeditions, field notes from the far edges of exploration.


5. PhysicsCentral


Physics is a topic of fascination for many curious minds, young and old. This site, a product of the American Physical Society, offers features that help researchers communicate their passion for physics to students of all ages. PhysicsCentral offers a hub of information, from how physics makes the world around us “work” to how physics applies to current events, with a decidedly kid-friendly bent.

Cool Fact: “A free-floating ball of plasma (electrically charged gas) is created when electricity is discharged into a solution.”

Must-See Page: Physics in Pictures features exciting illustrations of nature’s infinite variety and humankind’s ingenuity.


6. Learn About Robots


This resource is more 1.0 than the rest of the community-oriented, feature-rich sites we’re exploring today, but we can’t resist a site that’s all about robots. Most robotics sites cater to postgraduate academics or hobbyists and professionals in the field of robotics. For the casual and curious learner, this site is a great starting point. It features a not-so-frequently updated but still fascinating blog as well as encyclopedic information given in formats that are simple to digest and understand. The site houses sections on undersea and airborne robots, on nuclear and military robots, on space robots, and on the basics of how robots work and who builds them. In short, if you want to know more about a particular area of robotics, Learn About Robots is a good jumping-off point to explore the web for more information.

Cool Fact: “The folks working on the first atomic bombs pretty much defined telerobotics in this country. They had no other way of working with the radioactive materials.”

Must-See Page: Jobs in Robotics , a fascinating read for the young and ambitious… or unemployed and curious.

mashable

Senin, 22 Februari 2010

Cerita Miring Dokter Indonesia di Time

img
(Foto: Time)

Jakarta, Orang Indonesia tentunya sudah hapal sistem kesehatan di Indonesia yang masih jauh dari maksimal. Tapi kalau cerita miring soal kredibitas dokter Indonesia sampai diulas secara internasional tentunya harus menjadi perhatian khusus.

Situs majalah Time edisi 17 Februari 2010 memaparkan sebuah esai panjang tentang bagaimana memprihatinkannya kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia. Tulisan tersebut ditulis wartawan Jason Tedjasukmana, yang menjadi koresponden untuk Time Asia.

Intinya si jurnalis ingin menceritakan minusnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Berkaca dari pengalaman pribadinya yang menderita sakit mata. Di saat tak ada satu dokter Indonesia pun yang bisa mendiagnosis penyakitnya, dokter Amerika bisa mengetahuinya hanya dalam 5 menit.

Seperti dikutip dari Time, Selasa (23/2/2010), Jason menceritakan kisahnya.

Saya tidak pernah menduga akan menceritakan sistem kesehatan di Indonesia yang buruk. Meski saya merasa ragu dengan prosedur kesehatan di negara yang sudah saya tempati sejak tahun 1994 ini, tapi saya cukup percaya dengan dokter-dokter lokal di Indonesia. Tapi ternyata saya salah.

Pada April 2009, mata kanan saya mulai gatal dan memerah. Penglihatan saya mulai kabur tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mata saya. Akhirnya saya menemui dokter dan disarankan untuk menemui spesialis karena masalahnya diperkirakan ada pada kornea.

Saya pun mengikuti sarannya, tapi setelah berkeliling dan menemui banyak dokter spesialis mata di Jakarta, keadaan mata saya justru semakin memburuk. Seminggu kemudian, saya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan mencari pengobatan di luar, tapi ternyata sudah terlambat.

Kondisi kornea saya sudah terlanjur rusak. Dokter di Singapura tempat saya berkunjung dan juga hampir kebanyakan orang Indonesia yang ingin berobat menyarankan agar dilakukan transplantasi kornea jika teknik lainnya gagal. Akhirnya saya memutuskan pergi ke Amerika untuk mencari jalan lain.

Menurut saya, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia jauh dari memadai. Hal tersebut diakui pula oleh mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr Kartono Mohammad. "Kita tidak punya sistem kesehatan. Tidak ada kontrol terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Indoensia," ujar Dr Kartono.

Untuk tahun 2010, menteri kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih telah mengalokasikan dana sebesar 2,2 miliar dolar AS atau Rp 22 triliun untuk anggaran kesehatan, tapi angka itu dianggap masih kurang dan seharusnya sebesar 110 miliar miliar dolar (Rp 110 triliun). "Tentu saja itu masih belum cukup, tapi sistem pelayanan kesehatan sudah termasuk di dalamnya," tutur Endang.

Tentu saja tidak mengejutkan jika ratusan warga Indonesia meninggal tiap tahunnya akibat tuberculosis, malaria, demam berdarah dan penyakit lainnya. Tapi yang membuat saya bingung adalah bagaimana sebuah penyakit mata yang saya alami tidak terdiagnosa oleh satu pun dokter, padahal penyakit itu bisa memicu kebutaan.

Saya terpaksa pergi ke Amerika karena enam dokter di Indonesia sudah tidak bisa menjelaskan penyakit tersebut. Berbeda dengan dokter Indonesia, seorang dokter di Michigan langsung bisa mendiagnosis masalah dalam 5 menit.

"Anda terkena penyakit vernal conjunctivitis. Jika dokter di sana melihat dan memeriksa bagian di bawah kelopak mata Anda, penyakit ini sebenarnya bisa langsung ketahuan," ujar dokter Michigan yang memeriksa Jason.

Menurut Jason, sebenarnya para dokter di Indonesia sudah memeriksa bagian tersebut. Tapi tidak ada satu dokter pun yang menyadarinya dan melewatkannya begitu saja. Dokter di Jakarta hanya memberi steroid untuk mengurangi pembengkakan padahal setelah diperiksa di Amerika, pemakaian steroid justru akan memperparah keadaan.

Dokter di Jakarta juga melakukan pembersihan mata dengan cara mengurangi lapisan mata. Harapannya yaitu agar tumbuh lapisan baru di atas lapisan kornea yang rusak. Namun sakit yang dirasakan seperti ada keramik atau kaca yang ditusuk ke dalam mata saya.

Sebenarnya saya ingin menggugat dokter tersebut tapi Dr Kartono dan pakar kesehatan lainnya mengatakan bahwa kemungkinan memenangkan kasus malpraktik di Indonesia sangatlah kecil bahkan penggugat bisa jadi harus membayar kerugian yang lebih besar.

Setelah 9 bulan mengeluarkan ribuan dolar dan menjalani prosedur pengobatan di Amerika, 50 persen penglihatan saya sudah kembali normal. Meski saya masih merasa pusing dan tidak nyaman dengan ketidakseimbangan penglihatan kiri dan kanan, tapi saya optimistis mata saya akan kembali normal.

Saya sangat beruntung karena bisa mencari pengobatan di luar, tapi bagaimana dengan mereka yang tidak mampu dan tidak tahu harus berobat kemana? Semakin saya bertanya pada dokter-dokter di Jakarta, semakin banyak kekhawatiran dan cerita horor yang timbul.

Kasus Prita Mulyasari yang berani mengkritik sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah satu contoh bahwa ada yang salah dengan sistem kesehatan di Indonesia. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan setelah ini, tapi saya menyarankan agar Prita punya keberanian untuk menantang sistem yang sudah banyak mengorbankan orang banyak.

Nurul Ulfah - detikHealth

(fah/ir)