Menjelang peringatan dan masih beberapa hari kemudian, berbagai media cetak dan elektronik di Indonesia memuat berita dan tulisan mengenai peristiwa-peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Tidak satupun media, baik di Indonesia maupun di Belanda yang menulis mengenai penderitaan rakyat yang menjadi korban agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Ribuan penduduk dalam peristiwa "rawagede" dibantai yang sebelumnya ribuan penduduk di Sulawesi juga dibantai oleh tentara bayaran KNIL pimpinan Westerling. (red)
Kehadiran Menlu Belanda Ben Bot yang menyatakan menerima proklamasi 17 agustus 1945 secara politis dan moral serta menyatakan rasa penyesalan atas penderitaan bangsa Indonesia atas tindakan militer yang dilancarkan tentara Belanda setelah 17.8.1945, disalah-artikan oleh berbagai media di Indonesia sebagai pernyataan pengakuan atas proklamasi 17.8.1945, dan permintaan maaf. Mungkin para wartawan Indonesia kurang paham bahasa Inggris sehingga membuat kesimpulan yang keliru atas pernyataan Ben Bot tersebut. Media di Belanda jelas menulis, bahwa Ben Bot menyatakan “anvaarden” (menerima) dan bukan “erkenning” (pengakuan), dan Radio Nederland sendiri pada 17 agustus 2005 menyiarkan berita dengan judul: “Sedih. Tapi Tidak Minta Maaf.”
Harian Belanda Handelsblad mengutip pernyataan Ben Bot pada 15 Agustus 2005, yang mengatakan a.l.:
”Waar het nu in de eerste plaats om gaat, is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennia lang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met steun van het kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij zestig jaar na dato dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden”
Ben Bot jelas menyatakan RI de facto mulai 17.8.1945, dan …MENERIMA SECARA POLITIS DAN MORAL. Jadi tetap tidak mengakui de jure.. Di Indonesia, atas pertanyaan wartawan, dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya diberikan satu kali, yaitu tahun 1949.
Pada 13 Agustus 2005, harian Belanda de Telegraaf menulis, Menlu RI Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan permintaan maaf dari Belanda, dan setelah pernyataan Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak menuntut kompensasi dari Belanda. Memang sebagai Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda berbicara atas nama bangsa Indonesia, namun benarkah pernyataannya, bahwa seluruh rakyat Indonesia tidak menuntut kompensasi atas kerugian dan penderitaan rakyat selama masa agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1949. Belum lagi menuntut pengembalian warisan budaya dan pengurasan kekayaan Nusantara yang telah diboyong ke Belanda selama ratusan tahun sejak tahun 1602-1942?
Ben Bot menyatakan, bahwa selama puluhan tahun belakangan, Belanda telah banyak “membantu” (maksudnya adalah pinjaman dalam bentuk utang yang harus dibayar kembali berikut bunganya - penulis) Indonesia di bidang pembangunan.
Tahukah seluruh rakyat Indonesia bahwa sebagai hasil keputusan Konferensi meja Bundar tahun 1949, Republik Indonesia Serikat (RIS) –yang dipandang sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indies)- diharuskan membayar utang Pemerintah India Belanda sebesar 4 ½ milyar Gulden, dan oleh Pemerintah RIS, kemudian setelah RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dilanjutkan oleh Pemerintah RI telah dibayar sebesar 4 milyar Gulden, sebelum dihentikan pembayarannya tahun 1956 oleh Pemerintah RI?
Tahun 1995 diterbitkan buku dengan judul De Excessennota sebagai hasil penyelidikan yang dilakukan berdasarkan keputusan Parlemen Belanda atas berbagai penyimpangan dan kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Buku itu memuat cukup rinci mengenai puluhan kasus pelanggaran yang dilakukan oleh tentara Belanda. Beberapa kalangan di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang disebut secara lunak sebaga “Excess”, tidak lain adalah “war crimes” atau kejahatan perang. Namun sangat disayangkan, bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak merespons temuan ini hingga sekarang, dan bahkan Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda.
Di bawah ini saya sampaikan tulisan mengenai pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Letnan (waktu itu) R.P.P. Westerling di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 – Februari 1947.
Selain pembantaian massal yang menelan korban jiwa ribuan rakyat tidak berdosa di Sulawesi Selatan, pembantaian besar kedua terjadi di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana sekitar 500 penduduk desa tewas dibantai oleh tentara Belanda, yang mencari Lukas Kustario, seorang pejuang Republik Indonesia, sebagaimana juga diberitakan media Belanda RTL 5, yang dikirim oleh Jeffry Pondaag dari Belanda:
Citaat uit RTL 5 documentaire Rawagede. “De Excessen van Rawagede 1947-1950” Tijdens de Indonesische onafhankelijkheid strijd werden in het dorp Rawagede West-Java honderden burgers, onder verantwoordelijkheid van het Nederlandse Militaire gezag doelbewust vermoord. De Nederlandse Militaire Autoriteiten wilden inlichtingen verkrijgen over de Indonesische vrijheidstrijder Lukas Kustario die regelmatig in Rawagede verblijft. Bij de zoektocht naar Kustario werd het overgrote deel de mannelijke bevolking geëxecuteerd. De eerste militaire actie in Rawagedéh waarbij in totaal 431 dodelijke slachtoffers vielen. Werd in januari 1948 onderzocht door een speciale commissie van de VN.
De VN Commissie, bekritiseerde de handelwijze van het Nederlandse militaire gezag. Ondanks deze conclusie is de voor de excessen verantwoordelijke Nederlandse Officier niet vervolgd. Na overleg tussen de Nederlandse militaire en Justitie Autoriteiten werd de zaak Rawagede Geseponeerd.
Een Produktie van Willy Lindwer. AVA Productions 1995.
Apabila seluruh rakyat Indonesia mengetahui dengan jelas mengenai hal-hal tersebut di atas dan lebih meneliti lagi berbagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945, sangat diragukan, bahwa seluruh rakyat Indonesia benar sependapat dengan pernyataan Menlu Hassan Wirajuda.
Perlu kiranya ditanyakan kepada korban penyiksaan dan perempuan korban perkosaan tentara Belanda, keluarga dan anak-cucu korban pembantaian tentara Belanda, apakah mereka mendukung pernyataan Menlu Hassan Wirajuda, bahwa mereka benar tidak memerlukan permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda? Ataukah hanya karena mereka tidak mendapat informasi, bahwa mereka masih dapat menuntut hak mereka di pengadilan internasional? (Apabila para pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat di Indonesia tidak mau memperjuangkan hak dan nasib mereka!).
3 komentar:
Em... bener2 kejam.
Kejaaam...sekali.
belanda memang kurang ajar
Posting Komentar