Minggu, 19 Oktober 2008

Agresi Militer belanda & Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan yg terlupakan

imageimageMenjelang peringatan dan masih beberapa hari kemudian, berbagai media cetak dan elektronik di Indonesia memuat berita dan tulisan mengenai peristiwa-peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Tidak satupun media, baik di Indonesia maupun di Belanda yang menulis mengenai penderitaan rakyat yang menjadi korban agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Ribuan penduduk dalam peristiwa "rawagede" dibantai yang sebelumnya ribuan penduduk di Sulawesi juga dibantai oleh tentara bayaran KNIL pimpinan Westerling. (red)

Kehadiran Menlu Belanda Ben Bot yang menyatakan menerima proklamasi 17 agustus 1945 secara politis dan moral serta menyatakan rasa penyesalan atas penderitaan bangsa Indonesia atas tindakan militer yang dilancarkan tentara Belanda setelah 17.8.1945, disalah-artikan oleh berbagai media di Indonesia sebagai pernyataan pengakuan atas proklamasi 17.8.1945, dan permintaan maaf. Mungkin para wartawan Indonesia kurang paham bahasa Inggris sehingga membuat kesimpulan yang keliru atas pernyataan Ben Bot tersebut. Media di Belanda jelas menulis, bahwa Ben Bot menyatakan “anvaarden” (menerima) dan bukan “erkenning” (pengakuan), dan Radio Nederland sendiri pada 17 agustus 2005 menyiarkan berita dengan judul: “Sedih. Tapi Tidak Minta Maaf.”

Harian Belanda Handelsblad mengutip pernyataan Ben Bot pada 15 Agustus 2005, yang mengatakan a.l.:
”Waar het nu in de eerste plaats om gaat, is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennia lang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met steun van het kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij zestig jaar na dato dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden”


Ben Bot jelas menyatakan RI de facto mulai 17.8.1945, dan …MENERIMA SECARA POLITIS DAN MORAL. Jadi tetap tidak mengakui de jure.. Di Indonesia, atas pertanyaan wartawan, dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya diberikan satu kali, yaitu tahun 1949.

Pada 13 Agustus 2005, harian Belanda de Telegraaf menulis, Menlu RI Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan permintaan maaf dari Belanda, dan setelah pernyataan Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak menuntut kompensasi dari Belanda. Memang sebagai Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda berbicara atas nama bangsa Indonesia, namun benarkah pernyataannya, bahwa seluruh rakyat Indonesia tidak menuntut kompensasi atas kerugian dan penderitaan rakyat selama masa agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1949. Belum lagi menuntut pengembalian warisan budaya dan pengurasan kekayaan Nusantara yang telah diboyong ke Belanda selama ratusan tahun sejak tahun 1602-1942?

Ben Bot menyatakan, bahwa selama puluhan tahun belakangan, Belanda telah banyak “membantu” (maksudnya adalah pinjaman dalam bentuk utang yang harus dibayar kembali berikut bunganya - penulis) Indonesia di bidang pembangunan.

Tahukah seluruh rakyat Indonesia bahwa sebagai hasil keputusan Konferensi meja Bundar tahun 1949, Republik Indonesia Serikat (RIS) –yang dipandang sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indies)- diharuskan membayar utang Pemerintah India Belanda sebesar 4 ½ milyar Gulden, dan oleh Pemerintah RIS, kemudian setelah RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dilanjutkan oleh Pemerintah RI telah dibayar sebesar 4 milyar Gulden, sebelum dihentikan pembayarannya tahun 1956 oleh Pemerintah RI?

Tahun 1995 diterbitkan buku dengan judul De Excessennota sebagai hasil penyelidikan yang dilakukan berdasarkan keputusan Parlemen Belanda atas berbagai penyimpangan dan kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Buku itu memuat cukup rinci mengenai puluhan kasus pelanggaran yang dilakukan oleh tentara Belanda. Beberapa kalangan di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang disebut secara lunak sebaga “Excess”, tidak lain adalah “war crimes” atau kejahatan perang. Namun sangat disayangkan, bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak merespons temuan ini hingga sekarang, dan bahkan Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda.

Di bawah ini saya sampaikan tulisan mengenai pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Letnan (waktu itu) R.P.P. Westerling di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 – Februari 1947.

Selain pembantaian massal yang menelan korban jiwa ribuan rakyat tidak berdosa di Sulawesi Selatan, pembantaian besar kedua terjadi di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana sekitar 500 penduduk desa tewas dibantai oleh tentara Belanda, yang mencari Lukas Kustario, seorang pejuang Republik Indonesia, sebagaimana juga diberitakan media Belanda RTL 5, yang dikirim oleh Jeffry Pondaag dari Belanda:
Citaat uit RTL 5 documentaire Rawagede.
“De Excessen van Rawagede 1947-1950”
Tijdens de Indonesische onafhankelijkheid strijd werden in het dorp Rawagede West-Java honderden burgers, onder verantwoordelijkheid van het Nederlandse Militaire gezag doelbewust vermoord. De Nederlandse Militaire Autoriteiten wilden inlichtingen verkrijgen over de Indonesische vrijheidstrijder Lukas Kustario die regelmatig in Rawagede verblijft. Bij de zoektocht naar Kustario werd het overgrote deel de mannelijke bevolking geëxecuteerd. De eerste militaire actie in Rawagedéh waarbij in totaal 431 dodelijke slachtoffers vielen. Werd in januari 1948 onderzocht door een speciale commissie van de VN.

De VN Commissie, bekritiseerde de handelwijze van het Nederlandse militaire gezag. Ondanks deze conclusie is de voor de excessen verantwoordelijke Nederlandse Officier niet vervolgd. Na overleg tussen de Nederlandse militaire en Justitie Autoriteiten werd de zaak Rawagede Geseponeerd.

Een Produktie van Willy Lindwer.
AVA Productions 1995.


Apabila seluruh rakyat Indonesia mengetahui dengan jelas mengenai hal-hal tersebut di atas dan lebih meneliti lagi berbagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945, sangat diragukan, bahwa seluruh rakyat Indonesia benar sependapat dengan pernyataan Menlu Hassan Wirajuda.

Perlu kiranya ditanyakan kepada korban penyiksaan dan perempuan korban perkosaan tentara Belanda, keluarga dan anak-cucu korban pembantaian tentara Belanda, apakah mereka mendukung pernyataan Menlu Hassan Wirajuda, bahwa mereka benar tidak memerlukan permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda? Ataukah hanya karena mereka tidak mendapat informasi, bahwa mereka masih dapat menuntut hak mereka di pengadilan internasional? (Apabila para pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat di Indonesia tidak mau memperjuangkan hak dan nasib mereka!).

Batara R. Hutagalung

Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan
imagePembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Latar belakang
Sementara Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, tetap terjadi perlawanan sengit dari rakyat setempat. Walaupun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.

Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.

Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku pedoman resmi untuk Counter Insurgency.

Operasi militer

Tahap pertama
imageAksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

imageFase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.

Demikianlah "sweeping a la Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.

Tahap kedua
imageSetelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar berenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Tahap ketiga
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Pemberlakuaan keadaan darurat
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello, Abokangeng, Padakalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talanbangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette, pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.

Peristiwa Galung Lombok
Peristiwa maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Yusuf Pabicara Baru (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

Pasca operasi militer
imageJenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda baik militer mau pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.

Korban
Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh ijin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.



















Para Penduduk lokal yang sedang menunggu di Eksekusi oleh Para KNIL


Sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling
- http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Westerling


3 komentar:

Dien mengatakan...

Em... bener2 kejam.

Cewek Cantik mengatakan...

Kejaaam...sekali.

winardi mengatakan...

belanda memang kurang ajar