Jakarta - Ketiga orangtua tersebut sudah sangat renta. Untuk berjalan saja, mereka harus dipapah. Namun mereka tetap bersemangat untuk bertemu dengan Parlemen Belanda.
"Saya sudah tidak dendam lagi," kata Syaih kepada detikcom di Hotel JW Marriot, Jakarta, Minggu (19/10/2008).
Syaih adalah salah satu korban yang masih hidup dari kebiadaban penyerangan militer Belanda terhadap warga Rawagede, Kerawang, Bekasi pada 9 Desember 1947 yang lalu. Dia datang bersama dengan Wisah, Wanti dan Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman.
Di hotel mewah itu mereka bertemu dengan anggota parlemen Belanda yang diwakili oleh Harry van Bommel dari Partai Sosialis, Harm Evert Waalkens asal Partai Buruh dan JS Vourdewind dari Partai Uni Kristen.
Sukarman menceritakan, kejadian itu berlangsung pada malam hari, hari Selasa sekitar jam 24.00 WIB. Daerah Rawagede memang dijadikan markas pejuang Indonesia. Salah seorang pejuang yang paling dicari Belanda saat itu, Kapten Lukas Kustario, tanggal 8 Desember kebetulan datang ke daerah mereka.
"Rupanya kedatangan Lukas didengar oleh Belanda," jelas Sukarman yang saat kejadian kehilangan Ayahnya.
Akibatnya, malam itu menjadi ajang pembantaian warga Rawagede. Sebanyak 431 orang tewas akibat pembantaian itu. "Tapi yang dimakamkan hanya 181 mayat, sisanya hanya tulang-tulang doang," jelasnya.
Menurut Sukarman, pasukan belanda saat itu sangat sadis. Mereka menanyakan keberadaan Lukas. Tapi tidak satupun warga yang memberitahu. "Mereka langsung nyerbu gitu aja," ujar Sukarman.
Mendengar suara ribut-ribut, Syaih mengaku segera bersembunyi di sungai. Saat itu dia sangat ketakutan karena pasukan Belanda masuk ke seluruh daerah sambil membawa anjing pelacak.
Meski akhirnya tertangkap, Syaih nasibnya masih lebih beruntung dibanding yang laen. Pria kelahiran tahun 1922 ini hanya tertembak punggun serta lengan kirinya.
Syaih saat itu sudah dianggap tewas oleh pasukan Belanda. Badan Syaih dilempar ketumpukkan mayat yang lain sebelum ditembaki kembali oleh Belanda.
(mok/djo/detik.com)
Komentar terkini (3 Komentar)
akoe1, Saya waktu kemah pramuka smp pernah mengunjungi monumennya di Rawa Gede. Melihat monumennya aja membuat bulukuduk merinding ngeri. Betapa sadis dan jahatnya pembantaian waktu itu... Sudah seharusnya Pemerintah Belanda mengakui kesalahan/kejahatan/kesadisann ya dan juga meminta maaf kepada Bangsa Indonesia khususnya masyarakat yang terkait langsung atas tindakannya, walaupun tetap saja nyawa kerugian para korban lainnya tetap tak dapat tergantikan dgn cara apapun... Oya, setahu saya Rawagede itu bukan terletak di perbatasan Karawang-Bekasi, tetapi benar2 di Kabupaten Karawang tepatnya di Kecamatan Rawamerta. Mungkin di masa itu ada juga pembantaian rakyat di sekitar Karawang-Bekasi (hingga di abadikan oleh Chairil Anwar), tetapi untuk Rawagede itu memang letaknya di tengah Karawang kok.. Demikian, trims.
jamin, Ini sih Sadis bin sadis banget, semua sejarah pembantaian penjajah ini harus dibuka, bukan untuk membuka luka lama, tapi untuk mengingatkan kepada Dunia bahwa mereka2 yang lantang meneriakan hak azasi itu haruslah membereskan dulu hutang2nya sebelum intervensi dan mengajari hak asasi manusia kepada negara lain, masa pelanggar hak asasi mengajari hak asasi kepada orang lain. APA KATA DUNIA?
bdman, Dasar orang EROPA, ga Belanda, Jerman, Inggris atau Perancis semuanya adalah pelanggar HAM berat pada jamannya, sudahlah buka sajah semua sejarah MERAH bangsa EROPA biar kita melihat dan berpikir siapa mereka sebenarnya. Mereka bangsa yang biadab dari dulu...sejarah membuktikan kebiadaban mereka dan mereka skr "cuci-tangan". Memang tidak ada gunanya balas dendam, tapi kita masi bisa BOIKOT produk mereka dan tidak bekerja untuk perusahaan asing.
KARAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949) pada tahun 1948
Tidak ada komentar:
Posting Komentar