Minggu, 12 Oktober 2008

When Giants Learns to Dance: The IBM Story




Transformation of an enterprise begins with a sense of crisis or urgency”. Itulah yang dikatakan Lou Gerstner, orang yang berhasil melakukan corporate turnaround pada IBM ketika raksasa komputer ini sedang mengalami krisis.

Memang, ketika Gerstner diangkat sebagai CEO dan Chairman IBM pada April 1992, perusahaan ini sedang di ambang kehancuran. Pada Januari 1993, IBM mengumumkan kerugian sebesar 5 milyar dollar AS selama tahun 1992! Itulah kerugian terbesar dalam satu tahun yang pernah dialami oleh sebuah perusahaan sepanjang sejarah Amerika. Masalah yang menimpa IBM ini menjadi perhatian banyak kalangan. Betapa tidak, IBM sudah menjadi salah satu ikon bisnis Amerika dan dunia.

Sejarah panjang IBM dimulai saat perusahaan ini didirikan pada tahun 1896 di New York. IBM mulai tumbuh dengan pesat sejak tahun 1935 ketika mendapat kontrak dari pemerintah untuk mengelola data pekerjaan 26 juta orang. Pada tahun 1950-an, IBM mendapat kontrak yang cukup besar dari Angkatan Udara Amerika (USAF)

Maka, lanskap bisnis yang ada saat itu cukup menguntungkan bagi IBM. Selama masa-masa awal ini praktis IBM tidak punya pesaing. IBM juga sudah punya pelanggan captive pada sektor pemerintahan.

Kisah sukses IBM ini berlanjut sampai tahun 1960-an. Saat itu terdapat delapan perusahaan yang menguasai industri komputer. IBM merupakan perusahaan terbesar; pada tahun 1964 perusahaan ini memproduksi sekitar 70% dari seluruh komputer yang ada.

Tujuh perusahaan lainnya adalah UNIVAC, Burroughs, NCR, Control Data Corporation, General Electric, RCA, dan Honeywell. Karena ukuran IBM yang jauh lebih besar dibanding tujuh perusahaan lainnya, maka muncul istilah ”IBM and the Seven Dwarfs” pada industri komputer saat itu.

Pada dasawarsa 1960-an inilah IBM mulai mengukuhkan posisinya sebagai produsen mainframe computer terkemuka dengan produknya IBM System/360.

Sampai era 1980-an, IBM memproduksi sendiri hampir semua komponen mainframe computer-nya, mulai dari prosesor, sistem operasi, peripherals, dan sebagainya. Strategi integrasi-vertikal ini berakhir ketika IBM mulai mengalihkan pembuatan dua komponen penting ke perusahaan lain, yaitu sistem operasi ke Microsoft dan microprocessor ke Intel. Alasannya adalah untuk mempercepat waktu pembuatan personal computer (PC) yang pasarnya waktu itu mulai tumbuh.

Pada akhir 1980-an ini mulai terlihat bahwa pertarungan di industri komputer saat itu adalah antara model bisnis integrasi-vertikal seperti IBM, lawan model tersegmentasi seperti Intel (microprocessor), Microsoft (software), HP (printer) atau Seagate (disk drives).

Melihat hal ini, CEO IBM saat itu, John Akers, mulai memecah IBM menjadi unit-unit bisnis yang otonom. Tujuannya untuk bersaing secara lebih efektif dengan para pesaing tadi yang lebih fokus dan punya struktur biaya yang lebih murah.

IBM mulai limbung ketika pasar komputer mulai didominasi oleh PC, bukan lagi mainframe. Para pesaing IBM seperti Compaq dan Dell yang lebih siap semakin kuat posisinya. Pertumbuhan yang ada di bisnis PC IBM sendiri tidak mampu menutupi penurunan revenue yang terjadi pada bisnis mainframe-nya. Karena itulah, pada akhirnya IBM mengalami kerugian yang sangat besar pada tahun 1992 seperti sudah disebutkan di atas.

Gerstner bertindak cepat agar IBM tidak kolaps. Berbeda dengan John Akers, Gerstner mengintegrasikan kembali divisi-divisi utama IBM untuk lebih fokus kepada servis ketimbang produk. Bisnis IBM mulai beralih dari bisnis komponen dan hardware ke bisnis software dan servis.Langkah Gerstner ini kemudian diteruskan oleh Sam Palmisano, CEO IBM berikutnya.

Pada tahun 2002 IBM memperkuat bisnis servisnya dengan mengakuisisi divisi konsultansi dari PricewaterhouseCoopers. Pada tahun 2004 IBM juga menjual divisi PC-nya yang rugi terus ke Lenovo Group. Berikutnya, pada tahun 2007 IBM menjual divisi printing-nya ke Ricoh. Semua ini menunjukkan bahwa IBM memang benar-benar ingin fokus ke bidang servis, software, dan konsultasi, bukan lagi ke hardware.

Bisa kita lihat, perubahan lanskap bisnis yang tidak menentu bisa membuat perusahaan sekelas IBM hampir tumbang. Perkembangan teknologi yang pesat pada akhir 1980-an membuat para pesaing IBM bisa membuat PC dengan harga lebih murah sehingga bisa menjadi produk massal. Namun, IBM tidak siap dan masih mengandalkan mainframe computer yang harganya mahal dan berukuran besar.

Inilah perbedaan antara IBM dan GE yang saya ceritakan kemarin. Keduanya sama-sama perusahaan raksasa. Namun GE mampu melakukan “creative destruction” sebelum terlambat, sedangkan IBM sudah terlanjur rugi besar.

Memang, kesuksesan masa lalu tidak menjamin kesuksesan di masa depan. Hanya orang-orang yang mau berubahlah yang akan bertahan dan sukses di lanskap New Wave yang berubah sangat cepat ini.



--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)


Tidak ada komentar: